Label

Kamis, 22 November 2018

ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PENYELENGGARAAN KONSTRUKSI


ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PENYELENGGARAAN KONSTRUKSI


ARYANI LESTARI  (11315074)
MARISA VIASTA    (14315039)
ZAKHA RAKHA M  (17315634)
DOSEN
MEGA OKTAVIANY




FAKULTAS TEKNIK SIPIL
JURUSAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2018
DEPOK
1.1              DEFINISI
     . Konstruksi merupakan aktivitas yang tidak sederhana, bersifat multidisiplin serta dipengaruhi oleh banyak kepentingan. Tak heran apabila sengketa konstruksi rentan terjadi. Dalam catatan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), sengketa konstruksi mendomininasi 420 kasus yang ditangani BANI pada periode 1999 sampai dengan 2016, yakni 30,8% dari total kasus.
Di bawah rezim Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, mekanisme penyelesaian sengketa konstruksi tersedia melalui 2 (dua) jalur, yakni jalur pengadilan dan di luar jalur pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan dalam hal terjadi kegagalan bangunan. Serta tidak tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Jenis penyelesaian melalui jalur di luar pengadilan yang dimaksud dalam UU Jasa Konstruksi 1999 antara lain arbitrase, baik berupa lembaga atau ad-hoc yang bersifat nasional maupun internasional, mediasi, konsiliasi atau penilai ahli.
Sementara itu, dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, sebagai pengganti UU Jasa Konstruksi 1999, penyelesaian sengketa yang timbul dari Kontrak Kerja Konstruksi diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam hal para pihak yang bersengketa tidak menemukan kesepakatan, maka penyelesaian sengketa ditempuh melalui tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi atau dalam hal tidak tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi, para pihak bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai tata acara penyelesaian sengketa yang akan dipilih.
Adapun tahapan penyelesaian sengketa yang diatur dalam UU Jasa Konstruksi 2017 adalah sebagai berikut:
1.  mediasi;
2.  konsiliasi; dan
3.  arbitrase.
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Adapun pada saat berlakunya UU No. 30 Tahun 1999 ini, ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana diatur dalam pasal 615 sampai 651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg tidak berlaku lagi. Adanya UU No. 30 Tahun 1999 telah berusaha mengakomodir semua aspek mengenai arbitrase baik dari segi hukum maupun substansinya dengan ruang lingkup baik nasional maupun internasional.
Adapun keuntungan-keuntungan dari arbitrase untuk penyelsaian sengketa adalah sebagai berikut:
1) Sidang tertutup untuk umum
2) Prosesnya cepat (maksimal enam bulan)
3) Putusannya final dan tidak dapat dibanding atau kasasi
4) Arbiternya dipilih oleh para pihak, ahli dalam bidang yang disengketakan, dan memiliki integritas atau moral yang tinggi
5) Walaupun biaya formalnya lebih mahal daripada biaya pengadilan, tetapi tidak ada biaya-biaya lain
6) Khusus di Indonesia, para pihak dapat mempresentasikan kasusnya dihadapan Majelis Arbitrase dan Majelis Arbitrase dapat langsung meminta klarifikasi oleh para pihak.
Beberapa contoh kasusnya adalah, Sengketa antara Cemex Asia Holdings melawan Indonesia yang diselesaikan melalui International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) pada 2004 sampai 2007, Sengketa antara Pertamina melawan Commerz Asia Emerald yang diselesaikan melalui Singapore International Arbitration Center (SIAC), Singapore pada tahun 2008, Sengketa terkait Bank Century dimana dua pemegang sahamnya menggugat Pemerintah Indonesia yakni Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq yang diselesaikan melalui ICSID, Sengketa antara Newmont melawan Pemerintah Indoesia yang diselesaikan di ICSID, Washington DC.

1.2              HUKUM YANG BERKAITAN ARBITRASE
Arbitrase diatur dalam undang-undang no.30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Dari undang-undang tersebut telah berusaha mengakomodir semua aspek mengenai arbitrase baik dari segi hokum maupun substansinya dengan ruang lingkup baik nasional maupun internasional. Seiring perkembangannya, penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini menemui beberapa permasalahan. Masalah utama adalah terkait dengan pelaksanaan atau eksekusi putusan arbitrase. Dalam ruang lingkup internasional, putusan arbitrase internasional dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia apabila tidak bertentangan dengan ketertiban umum, telah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta apabila salah satu pihak dalam sengketa adalah Negara Republik Indonesia maka hanya dapat dilaksanakan setelah ada eksekuatur dari Mahkamah Agung - RI. Permasalahannya, pengadilan di Indonesia seringkali "dicap" enggan untuk melaksanakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dengan alasan bahwa putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum. Lain permasalahan, dalam ruang lingkup nasional pelaksanaan putusan arbitrase juga seringkali terhambat akibat kurangnya kemampuan dan pengetahuan arbiter Indonesia yang berakibat penundaan putusan arbitrase.

1.3              MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN CARA ARBITRASE
Pertama, kerahasiaan mengenai sengketa. Kerahasiaan merupakan salah satu keunggulan dari mekanisme penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan, baik pada saat proses maupun terhadap putusan yang tidak dipublikasikan. Mengingat konstruksi terkait dengan banyak proses yang mana tidak seluruhnya dapat dibuka untuk umum, terutama apabila bangunan yang menjadi obyek sengketa termasuk dalam objek vital negara. Selain itu, diperlukan untuk menjaga hubungan baik di antara para pihak, mengingat pelaku usaha dalam bidang jasa konstruksi adalah terbatas.
Kedua, para pihak dapat memilih pihak penengah (mediator/konsiliator/arbitrator) yang memiliki keahlian di bidang konstruksi. Menurut Hellard (1987), sengketa konstruksi dapat dibagi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:
1.         Sengketa berkaitan dengan waktu (keterlambatan progress);
2.         Sengketa berkaitan dengan finansial (klaim dan pembayaran);
3.         Sengketa berkaitan dengan standar pekerjaan (desain dan hasil pekerjaan);
4.         Konflik hubungan dengan orang-orang di dalam industri konstruksi.
Pada umumnya sengketa-sengketa tersebut atas akan berkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan hal-hal bersifat teknis. Pada dasarnya Kontrak Kerja konstruksi merupakan kontrak yang bersifat khusus yang mana memuat banyak aspek teknis.Sebagai contoh, sengketa berkaitan dengan pembayaran dengan sistem prosentase progress pekerjaan sebagai syarat pembayaran, tentunya memerlukan aspek teknik terkait dengan penentuan progress pekerjaan yang dapat diklaim. Dengan demikian, dalam penyelesaian sengketa konstruksi, tidak saja dibutuhkan ahli hukum, namun diperlukan ahli pada disiplin ilmu lain, terutama aspek teknis, untuk memahami akar permasalahan.
Ketiga, jangka waktu penyelesaian sengketa jelas dan relatif singkat. Walaupun perihal jangka waktu penyelesaian sengketa relatif singkat sebagai keunggulan dari mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan (arbitrase) menurut Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak selalu terjadi karena di beberapa negara penyelesaian melalui jalur litigasi dapat ditempuh dengan waktu yang relatif singkat, namun saat ini harus diakui bahwa jalur litigasi memakan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan jalur di luar litigasi. Jangka waktu penyelesaian sengketa yang singkat tentu lebih menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa, karena dapat segera memperoleh kepastian mengenai penyelesaian atas sengketa yang sedang terjadi. Bagi pelaku usaha konstruksi, berlaku pula hal demikian karena sengketa konstruksi akan berkaitan dengan banyak hal seperti namun tidak terbatas pada kelangsungan pekerjaan, pengalihan bangunan, penggunaan bangunan oleh pengguna jasa, kepastian pembayaran. Khusus bagi penyedia jasa, sengketa yang berlarut-larut dapat menghambat keterlibatan penyedia jasa pada tender-tender proyek yang diselenggarakan oleh pengguna jasa yang sedang bersengketa.
Di samping ketiga hal tersebut di atas, sejalan dengan upaya Pemerintah untuk menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, termasuk melalui sektor konstruksi, maka dalam pengikatan kontrak-kontrak internasional, dalam pengalaman penulis, penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan lebih diminati.
Sumber :
http://business-law.binus.ac.id/2017/02/28/penyelesaian-sengketa-konstruksi-pasca-revisi-uu-jasa-konstruksi/
https://m.hukumonline.com/talks/baca/lt54c06922d0403/arbitrase-sebagai-salah-satu-alternatif-penyelesaian-sengketa-diluar-pengadilan-angkatan-keempat









Tidak ada komentar:

Posting Komentar