ARBITRASE
DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PENYELENGGARAAN KONSTRUKSI
ARYANI LESTARI (11315074)
MARISA VIASTA (14315039)
ZAKHA RAKHA M (17315634)
DOSEN
MEGA OKTAVIANY
FAKULTAS
TEKNIK SIPIL
JURUSAN
TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2018
DEPOK
1.1
DEFINISI
. Konstruksi merupakan aktivitas yang tidak sederhana, bersifat
multidisiplin serta dipengaruhi oleh banyak kepentingan. Tak heran apabila
sengketa konstruksi rentan terjadi. Dalam catatan Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI), sengketa konstruksi mendomininasi 420 kasus yang ditangani BANI pada
periode 1999 sampai dengan 2016, yakni 30,8% dari total kasus.
Di bawah rezim
Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, mekanisme penyelesaian
sengketa konstruksi tersedia melalui 2 (dua) jalur, yakni jalur pengadilan dan
di luar jalur pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui jalur di luar
pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan
pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan dalam hal terjadi
kegagalan bangunan. Serta tidak tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Jenis penyelesaian melalui jalur di luar
pengadilan yang dimaksud dalam UU Jasa Konstruksi 1999 antara lain arbitrase,
baik berupa lembaga atau ad-hoc yang bersifat nasional maupun internasional,
mediasi, konsiliasi atau penilai ahli.
Sementara itu, dalam
Undang-Undang No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, sebagai pengganti UU
Jasa Konstruksi 1999, penyelesaian sengketa yang timbul dari Kontrak Kerja
Konstruksi diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam hal para pihak
yang bersengketa tidak menemukan kesepakatan, maka penyelesaian sengketa
ditempuh melalui tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam
Kontrak Kerja Konstruksi atau dalam hal tidak tercantum dalam Kontrak Kerja
Konstruksi, para pihak bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai
tata acara penyelesaian sengketa yang akan dipilih.
Adapun tahapan
penyelesaian sengketa yang diatur dalam UU Jasa Konstruksi 2017 adalah sebagai
berikut:
1. mediasi;
2. konsiliasi; dan
3. arbitrase.
Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa (berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Adapun pada saat
berlakunya UU No. 30 Tahun 1999 ini, ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana
diatur dalam pasal 615 sampai 651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg tidak
berlaku lagi. Adanya UU No. 30 Tahun 1999 telah berusaha mengakomodir semua
aspek mengenai arbitrase baik dari segi hukum maupun substansinya dengan ruang
lingkup baik nasional maupun internasional.
Adapun
keuntungan-keuntungan dari arbitrase untuk penyelsaian sengketa adalah sebagai
berikut:
1) Sidang tertutup untuk umum
2) Prosesnya cepat (maksimal enam bulan)
3) Putusannya final dan tidak dapat
dibanding atau kasasi
4) Arbiternya dipilih oleh para pihak,
ahli dalam bidang yang disengketakan, dan memiliki integritas atau moral yang
tinggi
5) Walaupun biaya formalnya lebih mahal
daripada biaya pengadilan, tetapi tidak ada biaya-biaya lain
6) Khusus di Indonesia, para pihak dapat
mempresentasikan kasusnya dihadapan Majelis Arbitrase dan Majelis Arbitrase
dapat langsung meminta klarifikasi oleh para pihak.
Beberapa contoh kasusnya adalah, Sengketa
antara Cemex Asia Holdings melawan Indonesia yang diselesaikan melalui
International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) pada 2004
sampai 2007, Sengketa antara Pertamina melawan Commerz Asia Emerald yang
diselesaikan melalui Singapore International Arbitration Center (SIAC),
Singapore pada tahun 2008, Sengketa terkait Bank Century dimana dua pemegang
sahamnya menggugat Pemerintah Indonesia yakni Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al
Warraq yang diselesaikan melalui ICSID, Sengketa antara Newmont melawan
Pemerintah Indoesia yang diselesaikan di ICSID, Washington DC.
1.2
HUKUM
YANG BERKAITAN ARBITRASE
Arbitrase diatur dalam undang-undang no.30 tahun 1999 tentang arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa. Dari undang-undang tersebut telah berusaha
mengakomodir semua aspek mengenai arbitrase baik dari segi hokum maupun
substansinya dengan ruang lingkup baik nasional maupun internasional. Seiring
perkembangannya, penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini menemui beberapa
permasalahan. Masalah utama adalah terkait dengan pelaksanaan atau eksekusi
putusan arbitrase. Dalam ruang lingkup internasional, putusan arbitrase
internasional dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia apabila tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, telah memperoleh eksekuatur dari Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta apabila salah satu pihak dalam sengketa
adalah Negara Republik Indonesia maka hanya dapat dilaksanakan setelah ada
eksekuatur dari Mahkamah Agung - RI. Permasalahannya, pengadilan di Indonesia
seringkali "dicap" enggan untuk melaksanakan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional dengan alasan bahwa putusan tersebut bertentangan
dengan ketertiban umum. Lain permasalahan, dalam ruang lingkup nasional
pelaksanaan putusan arbitrase juga seringkali terhambat akibat kurangnya
kemampuan dan pengetahuan arbiter Indonesia yang berakibat penundaan putusan
arbitrase.
1.3
MEKANISME
PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN CARA ARBITRASE
Pertama, kerahasiaan
mengenai sengketa. Kerahasiaan merupakan salah satu keunggulan dari mekanisme
penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan, baik pada saat proses maupun
terhadap putusan yang tidak dipublikasikan. Mengingat konstruksi terkait dengan
banyak proses yang mana tidak seluruhnya dapat dibuka untuk umum, terutama
apabila bangunan yang menjadi obyek sengketa termasuk dalam objek vital negara.
Selain itu, diperlukan untuk menjaga hubungan baik di antara para pihak,
mengingat pelaku usaha dalam bidang jasa konstruksi adalah terbatas.
Kedua, para pihak dapat
memilih pihak penengah (mediator/konsiliator/arbitrator) yang memiliki keahlian
di bidang konstruksi. Menurut Hellard (1987), sengketa konstruksi dapat dibagi
menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:
1. Sengketa
berkaitan dengan waktu (keterlambatan progress);
2. Sengketa
berkaitan dengan finansial (klaim dan pembayaran);
3. Sengketa
berkaitan dengan standar pekerjaan (desain dan hasil pekerjaan);
4. Konflik
hubungan dengan orang-orang di dalam industri konstruksi.
Pada umumnya sengketa-sengketa
tersebut atas akan berkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
hal-hal bersifat teknis. Pada dasarnya Kontrak Kerja konstruksi merupakan
kontrak yang bersifat khusus yang mana memuat banyak aspek teknis.Sebagai
contoh, sengketa berkaitan dengan pembayaran dengan sistem prosentase progress
pekerjaan sebagai syarat pembayaran, tentunya memerlukan aspek teknik terkait
dengan penentuan progress pekerjaan yang dapat diklaim. Dengan demikian, dalam
penyelesaian sengketa konstruksi, tidak saja dibutuhkan ahli hukum, namun
diperlukan ahli pada disiplin ilmu lain, terutama aspek teknis, untuk memahami
akar permasalahan.
Ketiga, jangka waktu
penyelesaian sengketa jelas dan relatif singkat. Walaupun perihal jangka waktu
penyelesaian sengketa relatif singkat sebagai keunggulan dari mekanisme
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (arbitrase) menurut Undang-Undang
No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak
selalu terjadi karena di beberapa negara penyelesaian melalui jalur litigasi
dapat ditempuh dengan waktu yang relatif singkat, namun saat ini harus diakui
bahwa jalur litigasi memakan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan jalur
di luar litigasi. Jangka waktu penyelesaian sengketa yang singkat tentu lebih
menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa, karena dapat segera memperoleh
kepastian mengenai penyelesaian atas sengketa yang sedang terjadi. Bagi pelaku
usaha konstruksi, berlaku pula hal demikian karena sengketa konstruksi akan
berkaitan dengan banyak hal seperti namun tidak terbatas pada kelangsungan
pekerjaan, pengalihan bangunan, penggunaan bangunan oleh pengguna jasa,
kepastian pembayaran. Khusus bagi penyedia jasa, sengketa yang berlarut-larut
dapat menghambat keterlibatan penyedia jasa pada tender-tender proyek yang
diselenggarakan oleh pengguna jasa yang sedang bersengketa.
Di samping ketiga hal
tersebut di atas, sejalan dengan upaya Pemerintah untuk menarik investor asing
untuk menanamkan modalnya di Indonesia, termasuk melalui sektor konstruksi,
maka dalam pengikatan kontrak-kontrak internasional, dalam pengalaman penulis,
penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan lebih diminati.
Sumber :
http://business-law.binus.ac.id/2017/02/28/penyelesaian-sengketa-konstruksi-pasca-revisi-uu-jasa-konstruksi/
https://m.hukumonline.com/talks/baca/lt54c06922d0403/arbitrase-sebagai-salah-satu-alternatif-penyelesaian-sengketa-diluar-pengadilan-angkatan-keempat