MAKALAH
ILMU SOSIAL DASAR (ISD)
“KEBAKARAN HUTAN DI INDONSIA”
DISUSUN OLEH
NAMA :
MARISA VIASTA
NPM / KELAS: 14315039 / 1TA02
FAKULTAS : TEKNIK
SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN : TEKNIK SIPIL
DOSEN :
HELNAWATY
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga makalah ”Kebakaran Hutan di Indonesia” dapat
tersusun hingga selesai. Berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan kita dan kepedulian kita terhadap lingkungan. Semoga
kedepannya makalah ini bisa menjadi lebih baik dari sekarang.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Depok,
Oktober 2015
Marisa
Viasta
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…...………………………………………………………......................
1
1.2 Rumusan Masalah..………….……………………………………………....................
2
1.3 Tujuan……………..………….…………………………………………………………...
2
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hutan…...…….………………………………………………………………
3
2.2 Hutan di Indonesia…………………………………………………………....................
3
2.3 Manfaat Hutan……………………………………………………………………………. 4
2.4 Kerusakan Hutan………………………………………………………………………....
5
2.5 Kebakaran Hutan……………………………………………………………..................
6
2.6 Kebakaran dan Pembakaran…………………………………………………...............
6
2.7 Penyebab Kebakaran Hutan……………………………………………………............
7
2.8 Kerugian Yang Ditimbulkan……………………………………………………….........
8
2.9 Dampak Kebakaran Hutan………………………………………………………...........
9
2.10 Pencegahan Keakaran Hutan…………………………………………………………
11
2.11 Penanggulan Kebakaran Hutan…………………………………………………….... 14
2.12 Kasus Kebakaran Hutan Di Indonesia……………………………………………….
16
BAB
III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan……………………………….…………………………………………….…19
3.2 Saran........................................................................................................................19
3.3 Daftar
Pustaka…………………………………………………………………………….20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lebih
dari 90 persen kebakaran hutan disebabkan karena manusia, atau sengaja dibakar.
Meskipun cuaca panas dan kering memperparah dan memperluas titik api di
sejumlah provinsi seperti Riau, Jambi, dan Pontianak dan menyebabkan kabut asap
pekat, pemantik apinya adalah manusia. “Kebakaran hutan adalah kejahatan
terorganisasi karena lebih dari sembilan puluh persen disebabkan manusia atau
sengaja dibakar. Tujuannya membuka lahan perkebunan,” kata peneliti Center for
International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo di sela-sela Konferensi
Jurnalis Sains Indonesia di Bogor, pekan lalu. Indonesia merupakan salah satu
Negara tropis yang memiliki wilayah hutan terluas di dunia setelah Brazil dan
Zaire. Hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia, karena dilihat
dari manfaatnya sebagai paru-paru dunia, pengatur aliran air, pencegah erosi
dan banjir serta dapat menjaga kesuburan tanah. Selain itu, hutan
dapat memberikan manfaat ekonomis sebagai penyumbang devisa bagi
kelangsungan pembangunan di Indonesia. Karena itu pemanfaatan hutan dan
perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun
1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri
Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Hutan
yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan
aspek kelestarian kini telah mengalami degradasi dan deforestasi yang cukup
mencenangkan bagi dunia Internasional, faktanya Indonesia mendapatkan rekor
dunia guiness yang dirilis oleh Greenpeace sebagai negara yang mempunyai
tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia, Sebanyak 72 persen dari
hutan asli Indonesia telah musnah dengan 1.8 juta hektar hutan dirusakan per
tahun antara tahun 2000 hingga 2005, sebuah tingkat kerusakan hutan sebesar 2%
setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan selama
ini tidak memperhatikan manfaat yang akan diperoleh dari keberadaan hutan
tersebut, sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu. Penyebab
utama kerusakan hutan adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan
terjadi karena manusia yang menggunakan api dalam upaya pembukaan hutan untuk
Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan, dan pertanian. selain itu, kebakaran
didukung oleh pemanasan global, kemarau ekstrim yang seringkali dikaitkan
dengan pengaruh iklim memberikan kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran
hutan.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Pengertian dan manfaat hutan di Indonesia
1.2.2
Kerusakan hutan dan penyebabnya yang terjadi di Indonesia
1.2.3
Kebakaran hutan dan jenis-jenisnya
1.2.4
Penyebab dan dampak kebakaran hutan
1.2.5
Pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan
1.2.6
Beberapa kasus kebakaran hutan
1.3
Tujuan
1.3.1
Mengetahui pengertian dan manfaat hutan di Indonesia
1.3.2
Mengetahui kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia dan penyebabnya
1.3.3
Mengetahui pengertian dan jenis-jenis kebakaran hutan
1.3.4
Mengetahui penyebab dan dampak kebakaran hutan
1.3.5
Mengetahui cara pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan
1.3.6
Mengetahui beberapa kasus kebakaan hutan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hutan
Hutan adalah
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Undang undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan). Sedangkan menurut Ensiklopedia Indonesia, hutan adalah
suatu areal yang dikelola untuk produksi kayu dan hasil hutan lainnya
dipelihara bagi keuntungan tidak langsung atau dapat pula bahwa hutan
sekumpulan tumbuhan yang tumbuh bersama.
Pemanfaatan
sekaligus perlindungan hutan di Indonesia diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun
1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan
beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan
Dirjen Pengusahaan Hutan. Menurut beberapa peraturan tersebut,hutan merupakan
sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman
hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu,
pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah,
perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan,
rekreasi, pariwisata dan sebagainya.
2.2
Hutan di Indonesia
Luas hutan di
Indonesia berkisar 122 juta hektar, yang persebarannya di Pulau Jawa hanya
sekitar 3 juta Ha, terdiri atas 55% hutan produksi dan 45% hutan lindung.
Persebaran hutan di Indonesia kebanyakan berjenis hutan hujan tropis yang
luasnnya mencapai 89 juta hektar. Daerah-daerah hutan hujan tropis antara lain
terdapat di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan Irian.
Hutan hujan tropis anggotanya tidak pernah menggugurkan daun, liananya berkayu,
pohon-pohonnya lurus dapat mencapai rata-rata 30 meter.
2.3
Manfaat Hutan di Indonesia
2.3.1
Kekayaan Keanekaragaman Hayati yang
Tinggi sebagai Paru-paru Dunia Jamur dan bakteri tersebut dapat membantu proses
pembusukan pada hewan dan tumbuhan secara cepat. Dengan demikian hutan hujan
tropika tidak saja ditandai dengan pertumbuhan yang baik tetapi juga tempat
pembusukan yang baik. Keanekaragaman hayati ditandai dengan kekayaan spesies
yang dapat mencapai sampai hampir 1.400 spesies, Brasil tercatat mempunyai
1.383 spesies. Di daerah tropika tumbuhan berkayu mempunyai dominasi yang lebih
besar daripada daerah lainnya.
2.3.2
Hutan Sebagai Pengatur Aliran Air
Penguapan air ke
udara hingga terjadi kondensasi di atas tanah yang berhutan antara lain
disebabkan oleh adanya air hujan, dengan ditahannya (intersepsi) air hujan
tersbut oleh tajuk pohon yang terdiri dari lapisan daun, dan diuapkan kembali
ke udara. Sebagian lagi menembus lapisan tajuk dan menetes serta mengalir
melalui batang ke atas permukaan serasah di hutan.
2.3.3
Pencegah Erosi dan Banjir
Erosi dan banjir
adalah akibat langsung dari pembukaan dan pengolahan tanah terutama di daerah
yang mempunyai kemiringan permukaan bumi atau disebut juga kontur yang curam.
Keduanya dapat bersumber dari kawasan hutan maupun dari luar kawasan hutan,
misalnya perkebunan, tegalan, dan kebun milik rakyat.
2.3.4
Menjaga Kesuburan Tanah
Kesuburan tanah
sebagian besar dalam bentuk mineral, seperti unsur-unsur Ca, K, N, P, dan
lainnya, disimpan pada bagian dari vegetasi yang ada di atas tanah, misalnya
pada batang, dahan, ranting, daun, bunga, buah, dan lain-lain. Dengan demikian
dengan adanya kerapatan hutan pada hutan tropika dapat menjaga kesuburan tanah.
2.4
Kerusakan Hutan di Indonesia
Kerusakan
hutan (deforestasi) masih tetap menjadi ancaman di Indonesia. Menurut data laju
deforestasi (kerusakan hutan) periode 2003-2006 yang dikeluarkan oleh
Departemen Kehutanan, laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,17 juta hektar
pertahun.Bahkan jika melihat data yang dikeluarkan oleh State of the World’s
Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO),
angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 1,8 juta hektar/tahun. Laju
deforestasi hutan di Indonesia ini membuat Guiness Book of The Record
memberikan ‘gelar kehormatan’ bagi Indonesia sebagai negara dengan daya rusak
hutan tercepat di dunia.
Dari
total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, menurut Menteri
Kehutanan Zulkifli Hasan (Menteri Kehutanan sebelumnya menyebutkan angka 135
juta hektar) sebanyak 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar telah dijarah
total sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi. Artinya, 26 juta hektar hutan
di Indonesia telah musnah. Selain itu, 25 persen lainnya atau setara dengan 48
juta hektar juga mengalami deforestasi dan dalam kondisi rusak akibat bekas
area HPH (Hak Penguasaan Hutan). Dari total luas hutan di Indonesia hanya
sekitar 23 persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas
dari deforestasi (kerusakan hutan) sehingga masih terjaga dan berupa hutan
primer. Laju deforestasi hutan di Indonesia paling besar disumbang oleh
kegiatan industri, terutama industri kayu, yang telah menyalahgunakan HPH yang
diberikan sehingga mengarah pada pembalakan liar. Penebangan hutan di Indonesia
mencapai 40 juta meter kubik per tahun, sedangkan laju penebangan yang
sustainable (lestari berkelanjutan) sebagaimana direkomendasikan oleh
Departemen Kehutanan menurut World Bank adalah 22 juta meter kubik meter per
tahun. Penyebab deforestasi terbesar kedua di Indonesia, disumbang oleh
pengalihan fungsi hutan (konversi hutan) menjadi perkebunan. Konversi hutan menjadi
area perkebunan (seperti kelapa sawit), telah merusak lebih dari 7 juta ha
hutan sampai akhir 1997. Deforestasi (kerusakan hutan) memberikan dampak yang
signifikan bagi masyarakat dan lingkungan alam di Indonesia. Kegiatan
penebangan yang mengesampingkan konversi hutan mengakibatkan penurunan kualitas
lingkungan yang pada akhirnya meningkatkan peristiwa bencana alam, seperti
tanah longsor dan banjir.
Dampak
buruk lain akibat kerusakan hutan adalah terancamnya kelestarian satwa dan
flora di Indonesia utamanya flora dan fauna endemik. Satwa-satwa endemik yang
semakin terancam kepunahan akibat deforestasi hutan misalnya lutung jawa
(Trachypithecus auratus), dan merak (Pavo muticus), owa jawa (Hylobates
moloch), macan tutul (Panthera pardus), elang jawa (Spizaetus bartelsi),
merpati hutan perak (Columba argentina), dan gajah sumatera (Elephant maximus
sumatranus).
2.5
Kebakaran Hutan
Kebakaran
hutan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan yang memiliki dampak negatif.
Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak, adalah sebuah
kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan
rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Selain itu, kebakaran hutan dapat
didefinisikan sebagai pembakaran yang tidak tertahan dan menyebar secara bebas
dan mengonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan,antara lain terdiri dari
serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, dan lain-lain. Istilah Kebakaran
hutan di dalam Ensiklopedia Kehutanan Indonesia disebut juga Api Hutan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa Kebakaran Hutan atau Api Hutan adalah Api Liar
yang terjadi di dalam hutan, yang membakar sebagian atau seluruh komponen
hutan. Dikenal ada 3 macam kebakaran hutan, Jenis-jenis kebakaran hutan
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Api Permukaan atau Kebakaran Permukaan
yaitu kebakaran yang terjadi pada lantai hutan dan membakar seresah,
kayu-kayu kering dan tanaman bawah. Sifat api permukaan cepat merambat,
nyalanya besar dan panas, namun cepat padam. Dalam kenyataannya semua tipe
kebakaran berasal dari api permukaan.
- Api Tajuk atau Kebakaran Tajuk
yaitu kebakaran yang membakar seluruh tajuk tanaman pokok terutama pada
jenis-jenis hutan yang daunnya mudah terbakar. Apabila tajuk hutan cukup
rapat, maka api yang terjadi cepat merambat dari satu tajuk ke tajuk yang
lain. Hal ini tidak terjadi apabila tajuk-tajuk pohon penyusun tidak
saling bersentuhan.
- Api Tanah adalah api yang membakar
lapisan organik yang dibawah lantai hutan. Oleh karena sedikit udara dan bahan
organik ini, kebakaran yang terjadi tidak ditandai dengan adanya nyala
api. Penyebaran api juga sangat lambat, bahan api tertahan dalam waktu
yang lama pada suatu tempat.
2.6
Kebakaran dan Pembakaran
Kebakaran
dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang sama tetapi
mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik dengan kejadian yang tidak
disengaja sedangkan pembakaran identik dengan kejadian yang sengaja diinginkan
tetapi tindakan pembakaran dapat juga menimbulkan terjadinya suatu kebakaran.
Penggunaan istilah kebakaran hutan dengan pembakaran terkendali merupakan suatu
istilah yang berbeda. Penggunaan istilah ini sering kali mengakibatkan
timbulnya persepsi yang salah terhadap dampak yang ditimbulkannya.
Kebakaran-kebakaran
yang sering terjadi digeneralisasi sebagai kebakaran hutan, padahal sebagian
besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah pembakaran yang sengaja dilakukan
maupun akibat kelalaian, baik oleh peladang berpindah ataupun oleh pelaku binis
kehutanan atau perkebunan, sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam (petir,
larva gunung berapi). Saharjo (1999) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan
alam dan perladangan berpindah dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran
hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, entah itu sengaja dibakar
atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat penyiapan lahan.
Bahan bakar dan api merupakan faktor penting untuk mempersiapkan lahan
pertanian dan perkebunan (Saharjo, 1999). Pembakaran selain dianggap mudah dan
murah juga menghasilkan bahan mineral yang siap diserap oleh tumbuhan.
Banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar di atas lahan akhirnya akan
menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang luas. Untuk itu, agar
dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka penggunaan api dan bahan
bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hati-hati. Untuk
menyelesaikan masalah ini maka manajemen penanggulangan bahaya kebakaran harus
berdasarkan hasil penelitian dan tidak lagi hanya mengandalkan dari terjemahan textbook
atau pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan dengan keadaan lahan di
Indonesia (Saharjo, 2000).
2.7 Penyebab Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan dapat disebabkan
oleh beberapa faktor,sebagai berikut:
2.
Kecerobohan
manusia
antara lain membuang puntung rokok sembarangan dan lupa mematikan api
di perkemahan.
3.
Aktivitas
vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung
berapi.
4.
Tindakan
yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka lahan
pertanian baru dan tindakan vandalisme.
5.
Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat
menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.
6.
Kemarau
yang panjang, dan panas yang terik tanpa adanya hujan berkepanjangan,
2.8
Kerugian yang ditimbulkannya
Kebakaran
hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan
dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia
tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun
1997/98 mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi
sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran kabut sekitar US $
674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran hutantersebut kemungkinan
jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagikegiatan bisnis di
Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon
kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).
Hasil
perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan
bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milayar
sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan
kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan
yang terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan,
biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap
seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi.
Kerugian ekonomi
akibat kabut asap mencapai sekitar Rp 20 triliun dalam dua bulan, sedangkan
Singapura mengklaim kerugian sekitar Rp 16 triliun.Riset CIFOR mencatat bahwa
terjadi kenaikan harga lahan sekitar Rp 3 juta setelah pembakaran lahan.
Sebelum terbakar, harga lahan berkisar Rp 8 juta, dan setelah terbakar menjadi
Rp 11 juta per hektar. Setelah ditanami sawit, harganya berlipat lagi, sekitar
Rp 50 juta, dan bisa mencapai Rp 100 juta per hektar apabila ditanami sawit
bibit unggul. Karenanya, kata Herry, di luar masyarakat yang menderita kerugian
akibat kabut asap, sekelompok orang justru menikmati hasil dari kebakaran hutan.
Mereka adalah orang pengejar keuntungan ekonomi dari pembakaran seperti
kelompok tani, pengklaim lahan, perantara penjual lahan, dan investor sawit. “Pihak
yang paling mengetahui informasi pembakaran hutan adalah pemerintah kabupaten,
kecamatan, desa, dan LSM lokal. Pemerintah desalah yang mengeluarkan surat
keterangan tanah untuk kebun sawit baru,” kata Herry.
Saat ini kelapa
sawit menjadi "emas hijau" yang banyak diincar investor, dari mulai
perusahaan raksasa hingga investor perorangan karena merupakan investasi paling
menguntungkan. Karenanya, pembakaran hutan, menurut riset CIFOR, merupakan cara
menghasilkan uang dengan mudah. Solusinya, menurut CIFOR, adalah memutus
jaringan para pemburu keuntungan ekonomi dari pembakaran hutan, dari petani ke investor,
menyusun tata ruang dan lahan, serta penegakan supremasi hukum.
Selain itu
pemerintah seharusnya memberikan alokasi dana yang lebih besar untuk pencegahan
kebakaran jangka panjang, bukan pada pemadaman api. “Rekayasa hujan buatan itu
proyek mahal tetapi tidak menyelesaikan masalah,” kata Herry. Berdasarkan
pantauan Rappler di Riau dan Jambi beberapa waktu lalu, industri kelapa sawit
masih merupakan primadona ekonomi. Tak hanya perusahaan besar yang memiliki
jutaan hektar kebun, masyarakat kecil juga ikut bermain dalam bisnis ini dari
mulai puluhan hingga ratusan hektar.
2.9
Dampak Kebakaran Hutan
2.9.1
Dampak Kebakaran Hutan terhadap
Lingkungan Biologis
Yang
dimaksud dengan lingkungan biologi yaitu segala sesuatu di sekitar manusia yang
berupa organisme hidup selain dari manusia itu sendiri seperti hewan, tumbuhan,
dan decomposer.
Dampak yang
ditimbulkan dari adanya kebakaran hutan khususnya terhadap lingkungan biologis
antara lain sebagai berikut:
- Terhadap flora dan fauna
Kebakaran hutan
akan memusnahkan sebagian spesies dan merusak kesimbangan alam sehingga
spesies-spesies yang berpotensi menjadi hama tidak terkontrol. Selain itu,
terbakarnya hutan akan membuat Hilangnya sejumlah spesies; selain membakar
aneka flora, kebakaran hutan juga mengancam kelangsungan hidup sejumlah
binatang. Berbagai spesies endemik (tumbuhan maupun hewan) terancam punah
akibat kebakaran hutan. Selain itu, kebakaran hutan dapat mengakibatkan
terbunuhnya satwa liar dan musnahnya tanaman baik karena kebakaran, terjebak
asap atau rusaknya habitat. Kebakaran juga dapat menyebabkan banyak spesies
endemik/khas di suatu daerah turut punah sebelum sempat dikenali/diteliti.
Beberapa dampak
kebakaran tehadap hewan dan tumbuhan antara lain sebagai berikut:
Kebakaran hutan
akan mengakibatkan banyak binatang yang akan kehilangan tempat
tinggal yang digunakan untuk berlindung serta tempat untuk mencarimakan. Dengan
demikian, hewan yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan baru setelah
terjadinya kebakaran tersebut akan mengalami penurunan jumlah bahkan dapat
mengalami kepunahan.
Contoh dampak
kebakaran hutan bagi beberapa hewan antara lain sebagai berikut:
- Geobin : seluruh daur hidupnya
di dalam tubuh tanah (Ciliophora, Rhizopoda & Mastigophora, dll)
- Geofil : sebagian daur hidupnya
di dalam tubuh tanah (serangga)
Kehidupan
tumbuhan berhubungan erat dengan hutan yang merupakan tempat hidupnya.
Kebakaran hutan dapat mengakibatkan berkurangnya vegetasi tertentu.
Contoh dampak
kebakaran hutan terhadap tumbuhan adalah sebagai berikut:
- Tumbuhan tingkat tinggi (akar
pohon, semak atau rumput)
- Tumbuhan tingkat rendah
(bakteri, cendawan dan Ganggang)
2.9.2 Menteri
Kesehatan RI, 2003 menyatakan bahwa kebakaran hutan menimbulkan polutan
udara yang dapat menyebabkan penyakit dan membahayakan kesehatan manusia.
Berbagai pencemar udara yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan, misalnya :
debu dengan ukuran partikel kecil (PM10 & PM2,5), gas SOx, NOx, COx, dan
lain-lain dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara
lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan
lain-lain. Selain itu juga dapat menimbulkan gangguan jarak pandang/
penglihatan, sehingga dapat menganggu semua bentuk kegiatan di luar rumah.
Gumpalan asap yang pedas akibat kebakaran yang melanda Indonesia pada tahun
1997/1998 meliputi wilayah Sumatra dan Kalimantan, juga Singapura dan sebagian
dari Malaysia dan Thailand. Sekitar 75 juta orang terkena gangguan kesehatan
yang disebabkan oleh asap. (Cifor,2001).
Gambut
yang terbakar di Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfir daripada
yang dilepaskan Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal itu membuat Indonesia
menjadi salah satu pencemar lingkungan terburuk di dunia pada periode tersebut
(Applegate, G. dalam CIFOR, 2001).
Dampak
kebakaran hutan 1997/98 bagi ekosistem direvisi karena perubahan perhitungan
luas kebakaran yang ditemukan. Taconi, 2003 menyebutkan bahwa kebakaran yang
mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar
1,62-2,7 miliar dolar. Biaya akibat pencemaran kabut asap sekitar 674-799 juta
dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi karena perkiraan dampak ekonomi bagi
kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan
emisi karbon menunjukkan bahwa kemungkinan biayanyamencapai2,8 miliar dolar.
2.10
Pencegahan Kebakaran Hutan di Indonesia
Upaya
untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan yang bersifat
represif dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan kebakaran hutan
yang bersifat represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk
mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi. Penanganan jenis
ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-pihak yang diduga
terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain.
Sementara
itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha, tindakan atau
kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan
terjadinya kebakaran hutan. Jadi penanganan yang bersifat preventif ini ada dan
dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi. Selama ini, penanganan yang dilakukan
pemerintah dalam kasus kebakaran hutan, baik yang disengaja maupun tidak
disengaja, lebih banyak didominasi oleh penanganan yang sifatnya represif.
Berdasarkan data yang ada, penanganan yang sifatnya represif ini tidak efektif
dalam mengatasi kebakaran hutan di Indonesia.
Hal
ini terbukti dari pembakaran hutan yang terjadi secara terus menerus. Sebagai
contoh : pada bulan Juli 1997 terjadi kasus kebakaran hutan. Upaya pemadaman
sudah dijalankan, namun karena banyaknya kendala, penanganan menjadi lambat dan
efek yang muncul (seperti : kabut asap) sudah sampai ke Singapura dan Malaysia.
Sejumlah pihak didakwa sebagai pelaku telah diproses, meskipun hukuman yang dijatuhkan
tidak membuat mereka jera. Ketidakefektifan penanganan ini juga terlihat dari
masih terus terjadinya kebakaran di hutan Indonesia, bahkan pada tahun 2008
ini.
Oleh
karena itu, berbagai ketidakefektifan perlu dikaji ulang sehingga bisa
menghasilkan upaya pengendalian kebakaran hutan yang efektif.
Menurut UU No 45
Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara terpadu dari
tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada
kesamaan bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu
penanggungjawab di setiap tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsi-fungsi
berikut ini :
- Mapping : pembuatan peta
kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-masing. Fungsi ini bisa
dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim digunakan adalah 3 cara
berikut:
- pemetaan daerah rawan yang
dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu
maupun hasil prediksi. - pemetaan daerah rawan yang
dibuat seiring dengan adanya survai desa (Partisipatory Rural Appraisal)
- pemetaan daerah rawan dengan
menggunakan Global Positioning System atau citra satelit
2. Informasi
: penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.
Hal ini bisa
dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di setiap
tingkat. Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :
·
analisis
kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah
·
pengolahan
data hasil pengintaian petugas
- Sosialisasi : pengadaan
penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat.
Penyuluhan
dimaksudkan agar menginformasikan kepada masyarakat di setiap wilayah mengenai
bahaya dan dampak, serta peran aktivitas manusia yang
seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa menginformasikan kepada masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan terhadap kebakaran dan upaya pencegahannya.
seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa menginformasikan kepada masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan terhadap kebakaran dan upaya pencegahannya.
Pembinaan
merupakan kegiatan yang mengajak masyarakat untuk dapat meminimalkan
intensitas terjadinya kebakaran hutan. Sementara, pelatihan bertujuan untuk
mempersiapkan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar wilayah rawan
kebakaran hutan,untuk melakukan tindakan awal dalam merespon kebakaran hutan.
- Standardisasi : pembuatan dan
penggunaan SOP (Standard Operating Procedure).
Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran hutan maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar yang baku dalam berbagai hal berikut :
- Metode pelaporan
Untuk menjamin
adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk, khususnya data yang
berkaitan dengan kebakaran hutan, harus diterapkan sistem pelaporan yang
sederhana dan mudah dimengerti masyarakat. Ketika data yang masuk sudah lancar,
diperlukan analisis yang tepat sehingga bisa dijadikan sebuah dasar untuk
kebijakan yang tepat.
- Peralatan
Standar minimal
peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa diterapkan oleh
pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali sehubungan dengan
potensi terjadinya kebakaran hutan, fasilitas pendukung, dan sumber daya
manusia yang tersedia di daerah.
- Metode Pelatihan untuk
Penanganan Kebakaran Hutan
Standardisasi ini
perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan kebakaran yang efisien dan
efektif dalam mencegah maupun menangani kebakaran hutan yang terjadi. Adanya
standardisasi ini akan memudahkan petugas penanganan kebakaran untuk segera
mengambil inisiatif yang tepat dan jelas ketika terjadi kasus kebakaran hutan
- Supervisi : pemantauan dan
pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan hutan.
Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya
perusakan lingkungan, sedangkan pengawasan adalah tindak lanjut dari hasil
analisis pemantauan. Jadi, pemantauan berkaitan langsung dengan penyediaan
data,kemudian pengawasan merupakan respon dari hasil olah data tersebut.
Pemantauan, menurut kementerian lingkungan hidup, dibagi menjadi empat,
yaitu :
- Pemantauan terbuka : Pemantauan
dengan cara mengamati langsung objek yang diamati. Contoh : patroli hutan
- Pemantauan tertutup (intelejen)
: Pemantauan yang dilakukan dengan cara penyelidikan yang hanya diketahui
oleh aparat tertentu.
- Pemantauan pasif : Pemantauan
yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan, dan keterangan dari data-data
sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup.
- Pemantauan aktif : Pemantauan
dengan cara memeriksa langsung dan menghimpun data di lapangan secara
primer. Contohnya : melakukan survei ke daerah-daerah rawan kebakaran
hutan. Sedangkan, pengawasan dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu :
·
Preventif
: kegiatan pengawasan untuk pencegahan sebelum terjadinya perusakan lingkungan
(pembakaran hutan). Contohnya : pengawasan untuk menentukan status ketika akan
terjadi kebakaran hutan
·
Represif
: kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk menanggulangi perusakan yang sedang
terjadi atau telah terjadi serta akibat-akibatnya sesudah terjadinya kerusakan
lingkungan.
Untuk mendukung
keberhasilan, upaya pencegahan yang sudah dikemukakan diatas, diperlukan
berbagai pengembangan fasilitas pendukung yang meliputi :
- Pengembangan dan sosialisasi
hasil pemetaan kawasan rawan kebakaran hutan
Hasil pemetaan sebisa mungkin dibuat sampai sedetail mungkin dan disebarkan pada berbagai instansi terkait sehingga bisa digunakan sebagai pedoman kegiatan institusi yang berkepentingan di setiap unit kawasan atau daerah. - Pengembangan organisasi
penyelenggara Pencegahan Kebakaran Hutan
Pencegahan Kebakaran Hutan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor, tingkatan dan daerah. Peran serta masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan upaya pencegahan ini. Sementara itu, aparatur pemerintah, militer dan kepolisian, serta kalangan swasta perlu menyediakan fasilitas yang memadai untuk memungkinkan terselenggaranya Pencegahan Kebakaran Hutan secara efisien dan efektif. - Pengembangan sistem komunikasi
Sistem komunikasi
perlu dikembangkan seoptimal mungkin sehingga koordinasi antar tingkatan
(daerah sampai pusat) maupun antar daerah bisa berjalan cepat. Hal ini akan
mendukung kelancaran early warning system, transfer data, dan
sosialisasi kebijakan yangberkaitan dengan kebakaran hutan
2.11
Penanggulan Kebakaran Hutan di Indonesia
Penanggulangan
hutan di Indonesia telah di atur dengan jelas di dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-Ii/2009 Tentang Pengendalian
Kebakaran Hutan.
Adapun upaya penanggulangan yang dimaktub tersebut antara lain:
- Memberdayakan sejumlah posko
yang bertugas menanggulangi kebakaran hutan di semua tingkatan.
Pemberdayaan ini juga harus disertai dengan langkah pembinaan terkait
tindakan apa saja yang harus dilakukan jika kawasan hutan telah memasuki
status Siaga I dan juga Siaga II.
- Memindahkan segala macam sumber
daya baik itu manusia, perlengkapan serta dana pada semua tingkatan mulai
dari jajaran Kementrian Kehutanan hingga instansi lain bahkan juga pihak
swasta.
- Memantapkan koordinasi antara
sesame instansi yang saling terkait melalui dengan PUSDALKARHUTNAS dan
juga di lever daerah dengan PUSDALKARHUTDA tingkat I dan SATLAK kebakaran
lahan dan juga hutan.
- Bekerjasama dengan pihak luar
seperti Negara lainnya dalam hal menanggulangi kebakaran hutan. Negara
yang potensial adalah Negara yang berbatasan dengan kita misalnya dengan
Malaysia berama pasukan BOMBA-nya. Atau juga dengan Australia bahkan
Amerika Serikat.
Upaya
penanggulangan kebakaran hutan ini tentunya harus sinkron dengan upaya
pencegahan. Sebab walau bagaimanapun, pencegahan jauh lebih baik dari
memanggulangi. Ada beragam cara yang bisa dilakukan dalam rangka mencegah
kebakaran hutan khususnya yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti
membuang punting rokok di wilayah yang kering, kegiatan pembukaan lahan dan juga
api unggun yang lupa dimatikan. Upaya pencegahannya adalah dengan meningkatkan
kesadaran masyarakat khususnya mereka yang berhubungan langsung dengan hutan.
Masyarakat ini biasanya tinggal di wilayah hutan dan memperluas area
pertaniannya dengan membakar. Pemerintah harus serius mengadakan sosialisi agar
hal ini bisa dicegah. Pada dasarnya upaya penanggulangan kebakaran hutan juga
bisa disempurnakan jika pemerintah mau memanfaatkan teknologi semacam bom air.
Atau bisa juga lebih lanjut ditemukan metode yang lebih efisien dan ampuh
menaklukkan kobaran api di hutan. Langkah yang paling baik adalah dengan
mengikutsertakan para perangkat pendidikan agar merancang teknologi maupun
metode yang membantu pemerintah di level praktis. Sokongan dana dari pemerintah
akan membuat program tersebut lebih baik dan terarah.
2.12
Beberapa Kasus Kebakaran Hutan yang Terjadi Indonesia
2.12.1
Kebakaran Hutan di Riau
127 titik api mucul, Riau makin membara.
Kebakaran hutan di Riau semakin meluas. Hari ini sebanyak 127 titik panas
(hotspot) mengepung berbagai wilayah di Bumi Lancang Kuning tersebut. Kepala
Seksi Data dan Informasi BMKG Pekanbaru Slamet Riyadi menyebutkan hotspot
terbanyak di Kabupaten Pelalawan dengan jumlah 53 titik. Jumlah hotspot
mengalami peningkatan drastis dibanding. "Kemudian di Kabupaten Inhu ada
49 titik, Kampar 15 titik, Inhil tujuh titik dan Kuansing tiga titik,"
kata Slamet, Sabtu (19/9/2015).
Akibat dari kebakaran hutan dan lahan yang
berdampak ini hampir semua wilayah di Riau tertutup asap. "Visibiliti
(jarak pandang) diberbagai daerah daerah di Riau umumnya hanya 500 sampai 1000
meter. Ini disebabkan karena kabut asap," sebutnya.Sementara itu wilayah
Sumatera, total titik panas di berjumlah 497 titik. Dengan daerah terbanyak Provinsi
Jambi dengan 169 titik, kemudian Provinsi Sumatera Selatan 159 titik dan Riau
di posisi ketiga penyumbang kebakaran. Sisanya diberbagai propinsi lain di
Sumatera. "Hujan diprediksi pada awal Oktober. Kita berharap semua pihak
tetap waspada karena saat ini lahan masih mudah terbakar," himbaunya.
Kebakaran di Riau sudah berlangsung lebih dari
sebulan. Bencana ini sudah melumpuhkan perenomian warga, dunia penerbangan,
pendidikan dan sudah puluhan ribu warga terserang penyakit ISPA.
2.12.2
Kebakaran Hutan di Kediri
Kebakaran hutan yang terjadi
dikawasan di Petak 128 Resor Pemangku Hutan (RPH) Pojok, Bagian Kesatuan
Pemangku Hutan (BKPH) Kediri di area gunung Klothok, Minggu (2/9/2012) siang
tadi, diduga akibat ulah manusia. Asisten Perhutani BKPH Kediri, Suharto
menduga, kebakaran hutan di kawsan gunung Klotok ini akibat wisatawan atau
pembukaan lahan secara ilegal yang dilakukan oknum masyarakat.
“Penyebabnya karena ulah
manusia. Mungkin karena puntung rokok wisatawan atau upaya pembukaan ladang liar,”
ujarnya saat ditemui di lokasi kebakaran.
Akibat kejadian tersebut, 7
hektar hutan yang terdiri dari berbagai tanaman produksi menjadi rusak. Menurut
laporan yang diterimanya, saat ini api telah membakar seluas 7 hektar hutan
yang berisi sisa tanaman yang ditanam pada periodesasi tahun 1980. Namun
demikian belum diketahui jumlah kerugian materiil yang diakibatkan oleh
kebakaran itu. Saat ini, petugas Perhutani yang dibantu personel TNI dari
Brigif 16 Wirayuda dan warga sudah mulai menjinakkan si jago merah. Mereka
memadamkannya dengan cara membagi personel sesuai jumlah titik api dan kemudian
melokalisir sumber api. Meskipun dengan perlengkapan seadanya, mereka berhasil
memadamkan 4 titik api yang ada. “Kita tadi kerahkan 60 personel untuk membantu
pemadaman ini,” kata Lettu Infanteri Ismiyanto, Pasi Propam Ops Brigif 16
Wirayuda Kediri.
Kini sebagian personel telah
turun gunung, sementara sebagian lainnya terutama dari elemen Perhutani masih
bersiaga di sekitar lokasi kejadian untuk mengantisipasi kebakaran susulan.Sebelumnya
diberitakan, titik api kali pertama terlihat pada pukul 11.45 di bagian wilayah
Dusun Ngesong Sumber Bentis, Desa Manyaran, Kecamatan Banyakan, Kabupaten
Kediri. Kencangnya angin ditambah medan yang penuh dengan tanaman kering sehingga
api dengan mudah merembet hingga masuk wilayah Sukorame, Kota Kediri.
2.12.4 Kebakaran Hutan di Pontianak
Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Supadio Pontianak menjelaskan, bahwa
titik api di wilayah Kalimantan Barat mengalami peningkatan yang cukup
signifikan dari hari sebelumnya. "Hal ini berdasarkan pantauan Satelit
Modis dan Noa-18," kata Prakirawan BMKG Supadio Pontianak Dina, kepada
wartawan, Selasa (22/9/2015). Ditambahkan dia, menurut antauan Satelit Modis
tercatat 310 titik api yang tersebar di beberapa kabupaten, yaitu dua titik api
terdapat di Kabupaten Kapuas Hulu, 26 di Kabupaten Kayong Utara, dan 172 di
Kabupaten Ketapang. “49 titik api terdapat di Kabupaten Kubu raya, enam terdapat
di Kabupaten Mempawah, Kabupaten Sintang terdapat 52 titik api dan satu titik
api masing-masing terdapat di Kabupaten Melawi," ungkapnya. Dilanjutkan
dia, di Kabupaten Sanggau dan Sekadau, sementara itu berdasarkan pantauan
satelit Noaa-18 tercatat 167 titik api yang tersebar di Kabupaten Kayong Utara
terdapat 16 titik api, dan Ketapang 81 titik api.
"23
titik api terdapat di Kubu raya, tujuh di Kabupaten Melawi, dua titik api
terdapat di Sanggau, delapan titik api di Sekadau, Kabupaten Sintang terdapat
28 titik api, dan Kabupaten Kapuas Hulu," terangnya. "Sementara di
Kabupaten Mempawah masing-masing terdapat satu titik api," ungkapnya. Pihak
BMKG saat ini juga telah membuat sebaran titik api di beberapa kabupaten di
wilayah kalimantan Barat hari ini naik delapan kali lipat dari sebelumnya yang
hanya 40 titik api. "Kabupaten Ketapang memiliki titik api terbanyak di
bandingkan dari kabupaten lainnya. Meningkatnya jumlah titik api hari ini,
disebabkan oleh pembakaran hutan dan lahan yang kembali terjadi,"
jelasnya. Dilanjutkan dia, walaupun sebelumnya sudah jauh berkurang, hanya 40
titik api saja. "Namun hari ini kembali meningkat dengan cukup
signifikan," jelasnya.
2.12.5
Kebakaran Hutan di Makasar
Kebakaran
lahan di Luwu Timur, Sulawesi Selatan semakin meluas ke area kantor
pemerintahan, serta pemukiman warga yang ada di daerah tersebut. Pihak pemadam
kebarakan Luwu Timur yang menurunkan tiga unit armadanya kewalahan memadamkan
kobaran api yang semakin membesar. Kebakaran tersebut terjadi di dua lokasi
yang berbeda yakni di desa Wewangriu serta Desa Pucak Indah Malili, Kecamatan
Malili Luwu Timur. Kebakaran lahan ini sudah menghanguskan puluhan hektar area
perkebunan kakao serta hutan lindung yang ada di daerah tersebut selama
beberapa minggu terakhir. Selain itu kebakaran juga menimbulkan kabut asap
menyelimuti wilayah tersebut. Menurut Komandan Damkar Luwu Timur Erik, pihaknya
kewalahan memadamkan kobaran api yang terus merembet ke area perkantoran serta
permukiman warga. "Karena terjadi angin kencang serta lahan yang dilahap
api merupakan lahan gambut yang sudah mengering akibat musim kemarau sehingga
api sulit dipadamkan," pungkasnya.
2.12.6
Kebakaran Hutan di Pekanbaru
Kebakaran
hutan dan lahan di Pulau Sumatera, termasuk Provinsi Riau, masih terus terjadi.
Bahkan cenderung meningkat. Berdasarkan pantauan Satelit Terra dan Aqua,
tercatat hari ini ada 1.025 hotspot (titik panas). Kebakaran terparah kali ini
disumbangkan oleh Provinsi Sumatera Selatan dengan 791 titik. Provinsi
penyumbang kebakaran kedua Bangka Belitung dengan 123 titik api, Jambi 60
titik, Lampung 36 titik, Bengkulu lima titik dan Riau satu titik. "Sementara
untuk Provinsi Riau ada sembilan hospot," kata Staf Analisa Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru Slamet Riyadi.
Berdasarkan
pantauan satelit, sebaran titik api Riau berada di tiga kabupaten. Daerah
kebakaran tersebut adalah Kabupaten Pelalawan, Rokan Hilir (Rohil), dan
Indragiri Hilir (Inhil). "Masing-masing daerah menyumbang tiga
hotspot," pungkasnya. Sementara itu, sudah dua hari ini Provinsi Riau
diguyur hujan. Kondisi ini membuat Riau sendikit membaik. Di mana sebelumnya
kabut tebal menyelimuti Riau, kini mulai terlihat tipis. Begitu juga dengan
kondisi Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang sebelumnya berada dilevel
berbahaya, kini sedikit membaik, yakni di level tidak sehat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Akibat kebakaran hutan tidak hanya mengakibatkan kerugian
ekonomis dan kerusakan ekosistem. Kita juga dicap sebagai bangsa dan masyarakat
yang tidak bisa dan tidak mau memelihara kekayaan alam. Padahal kawasan hutan
di Indonesia luasnya mencapai 10 persen dari hutan tropis yang ada di dunia
atau ke tiga terbesar setelah Zaire dan Brasil. Bukan hanya itu. Asap tebal
yang mengganggu ruang udara tetangga membuat sejumlah negara mencap kita
sebagai bukan tetangga yang baik. Tidak hanya faktor kesehatan dan kegiatan
masyarakat yang terganggu, tetapi lebih jauh menyangkut terganggunya navigasi
penerbangan dan pelayaran. Awal tahun ini, disaat kita masih sibuk dengan
berbagai upaya pemulihan yang direcoki dengan berbagai persoalan residu orde
baru, bukannya tidak mungkin musibah itu berulang. Kebakaran hutan seperti pada
tahun 1997 terjadi lagi dalam keadaan kita serba tergagap-gagap mengahadapi
kebusukan masa lalu yang satu persatu terbuka. Indonesia bukan hanya dicap
buruk sebagai tempat yang subur untuk pelanggaran HAM, KKN dan perampasan
serakah terhadap kekayaan alam beserta isinya, melainkan juga negara dengan
warga dan pemerintah yang tidak tahu berterimakasih, sehingga tidak layak
dijadikan teman. Kepercayaan rasanya semakin jadi barang mewah dan mahal. Terus
menerus kita membangun kepercayaan. Kepercayaan sekarang menjadi kata kunci.
Dengan kepercayaan terbuka kemungkinan-kemungkinan rasa simpatik dan
bantuan-bantuan finansial lain yang kita butuhkan.
3.2 Saran
3 langkah saran
Greenpeace untuk mencegah kebakaran hutan:
Pertama, mempertahankan pengelolaan hutan dan gambut ke lahan
kelapa sawit, akasia dan tumbuhan komoditas industri lainnya.
Kedua, memastikan sesegera mungkin mengesahkan rancangan tata
kelola gambut yang kuat dan memberikan perlindungan penuh kepada kawasan gambut
termasuk memberikan batasan jelas dalam batasan konsesi lahan yang dilindungi
dengan perusahaan.
Ketiga, mengembangkan dan menerapkan rencana pemerintah soal
perlindungan, rehabilitasi da manajemen berkelanjutan tentang hutan dan rawa
gambut termasuk mengikut sertakan dan berbasis komunitas masyarakat local.
DAFTAR PUSTAKA
5. Google search hutan