Label

Senin, 09 November 2015

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR (ISD) “KEBAKARAN HUTAN DI INDONSIA”

MAKALAH
ILMU SOSIAL DASAR (ISD)
“KEBAKARAN HUTAN DI INDONSIA”














DISUSUN OLEH
NAMA            : MARISA VIASTA
NPM / KELAS: 14315039 / 1TA02
FAKULTAS   : TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN     : TEKNIK SIPIL
DOSEN          : HELNAWATY

KATA PENGANTAR


            Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga makalah ”Kebakaran Hutan di Indonesia” dapat tersusun hingga selesai. Berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita dan kepedulian kita terhadap lingkungan. Semoga kedepannya makalah ini bisa menjadi lebih baik dari sekarang.
           
            Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.




                                                                                                            Depok, Oktober 2015
                                                                                                            Marisa Viasta



 DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang…...………………………………………………………...................... 1
1.2    Rumusan Masalah..………….…………………………………………….................... 2
1.3    Tujuan……………..………….…………………………………………………………... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1   Pengertian Hutan…...…….……………………………………………………………… 3
2.2   Hutan di Indonesia………………………………………………………….................... 3
2.3   Manfaat Hutan……………………………………………………………………………. 4
2.4   Kerusakan Hutan……………………………………………………………………….... 5
2.5   Kebakaran Hutan…………………………………………………………….................. 6
2.6   Kebakaran dan Pembakaran…………………………………………………............... 6
2.7   Penyebab Kebakaran Hutan……………………………………………………............ 7
2.8   Kerugian Yang Ditimbulkan……………………………………………………….........  8
2.9   Dampak Kebakaran Hutan………………………………………………………........... 9
2.10 Pencegahan Keakaran Hutan………………………………………………………… 11
2.11 Penanggulan Kebakaran Hutan……………………………………………………....  14
2.12 Kasus Kebakaran Hutan Di Indonesia……………………………………………….  16

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan……………………………….…………………………………………….…19
3.2 Saran........................................................................................................................19

3.3 Daftar Pustaka…………………………………………………………………………….20


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Lebih dari 90 persen kebakaran hutan disebabkan karena manusia, atau sengaja dibakar. Meskipun cuaca panas dan kering memperparah dan memperluas titik api di sejumlah provinsi seperti Riau, Jambi, dan Pontianak dan menyebabkan kabut asap pekat, pemantik apinya adalah manusia. “Kebakaran hutan adalah kejahatan terorganisasi karena lebih dari sembilan puluh persen disebabkan manusia atau sengaja dibakar. Tujuannya membuka lahan perkebunan,” kata peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo di sela-sela Konferensi Jurnalis Sains Indonesia di Bogor, pekan lalu. Indonesia merupakan salah satu Negara tropis yang memiliki wilayah hutan terluas di dunia setelah Brazil dan Zaire. Hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia, karena dilihat dari manfaatnya sebagai paru-paru dunia, pengatur aliran air, pencegah erosi dan banjir serta dapat menjaga kesuburan tanah. Selain itu,  hutan  dapat memberikan manfaat ekonomis sebagai penyumbang devisa bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Hutan yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan aspek kelestarian kini telah mengalami degradasi dan deforestasi yang cukup mencenangkan bagi dunia Internasional, faktanya Indonesia mendapatkan rekor dunia guiness yang dirilis oleh Greenpeace sebagai negara yang mempunyai tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia, Sebanyak 72 persen dari hutan asli Indonesia telah musnah dengan 1.8 juta hektar hutan dirusakan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005, sebuah tingkat kerusakan hutan sebesar 2% setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan selama ini tidak memperhatikan manfaat yang akan diperoleh dari keberadaan hutan tersebut, sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu. Penyebab utama kerusakan hutan adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan  terjadi  karena manusia yang menggunakan api dalam upaya pembukaan hutan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan, dan pertanian. selain itu, kebakaran didukung oleh pemanasan global, kemarau ekstrim yang seringkali dikaitkan dengan pengaruh iklim memberikan kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran hutan.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Pengertian dan manfaat hutan di Indonesia
1.2.2        Kerusakan hutan dan penyebabnya yang terjadi di Indonesia
1.2.3        Kebakaran hutan dan jenis-jenisnya
1.2.4        Penyebab dan dampak kebakaran hutan
1.2.5        Pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan
1.2.6        Beberapa kasus kebakaran hutan

1.3  Tujuan
1.3.1        Mengetahui pengertian dan manfaat hutan di Indonesia
1.3.2        Mengetahui kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia dan penyebabnya
1.3.3        Mengetahui pengertian dan jenis-jenis kebakaran hutan
1.3.4        Mengetahui penyebab dan dampak kebakaran hutan
1.3.5        Mengetahui cara pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan
1.3.6        Mengetahui beberapa kasus kebakaan hutan


  
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Hutan
Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Undang undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Sedangkan menurut  Ensiklopedia Indonesia, hutan  adalah suatu areal yang dikelola untuk produksi kayu dan hasil hutan lainnya dipelihara bagi keuntungan tidak langsung atau dapat pula bahwa hutan sekumpulan tumbuhan yang tumbuh bersama.
Pemanfaatan sekaligus perlindungan hutan di Indonesia diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Menurut beberapa peraturan tersebut,hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya.
2.2  Hutan di Indonesia
Luas hutan di Indonesia berkisar 122 juta hektar, yang persebarannya di Pulau Jawa hanya sekitar 3 juta Ha, terdiri atas 55% hutan produksi dan 45% hutan lindung. Persebaran hutan di Indonesia kebanyakan berjenis hutan hujan tropis yang luasnnya mencapai 89 juta hektar. Daerah-daerah hutan hujan tropis antara lain terdapat di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan Irian. Hutan hujan tropis anggotanya tidak pernah menggugurkan daun, liananya berkayu, pohon-pohonnya lurus dapat mencapai rata-rata 30 meter.



2.3  Manfaat Hutan di Indonesia
2.3.1        Kekayaan Keanekaragaman Hayati yang Tinggi sebagai Paru-paru Dunia Jamur dan bakteri tersebut dapat membantu proses pembusukan pada hewan dan tumbuhan secara cepat. Dengan demikian hutan hujan tropika tidak saja ditandai dengan pertumbuhan yang baik tetapi juga tempat pembusukan yang baik. Keanekaragaman hayati ditandai dengan kekayaan spesies yang dapat mencapai sampai hampir 1.400 spesies, Brasil tercatat mempunyai 1.383 spesies. Di daerah tropika tumbuhan berkayu mempunyai dominasi yang lebih besar daripada daerah lainnya.
2.3.2        Hutan Sebagai Pengatur Aliran Air
Penguapan air ke udara hingga terjadi kondensasi di atas tanah yang berhutan antara lain disebabkan oleh adanya air hujan, dengan ditahannya (intersepsi) air hujan tersbut oleh tajuk pohon yang terdiri dari lapisan daun, dan diuapkan kembali ke udara. Sebagian lagi menembus lapisan tajuk dan menetes serta mengalir melalui batang ke atas permukaan serasah di hutan.
2.3.3        Pencegah Erosi dan Banjir
Erosi dan banjir adalah akibat langsung dari pembukaan dan pengolahan tanah terutama di daerah yang mempunyai kemiringan permukaan bumi atau disebut juga kontur yang curam. Keduanya dapat bersumber dari kawasan hutan maupun dari luar kawasan hutan, misalnya perkebunan, tegalan, dan kebun milik rakyat.

2.3.4        Menjaga Kesuburan Tanah
Kesuburan tanah sebagian besar dalam bentuk mineral, seperti unsur-unsur Ca, K, N, P, dan lainnya, disimpan pada bagian dari vegetasi yang ada di atas tanah, misalnya pada batang, dahan, ranting, daun, bunga, buah, dan lain-lain. Dengan demikian dengan adanya kerapatan hutan pada hutan tropika dapat menjaga kesuburan tanah.



2.4  Kerusakan Hutan di Indonesia
Kerusakan hutan (deforestasi) masih tetap menjadi ancaman di Indonesia. Menurut data laju deforestasi (kerusakan hutan) periode 2003-2006 yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,17 juta hektar pertahun.Bahkan jika melihat data yang dikeluarkan oleh State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO), angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 1,8 juta hektar/tahun. Laju deforestasi hutan di Indonesia ini membuat Guiness Book of The Record memberikan ‘gelar kehormatan’ bagi Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia.
Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (Menteri Kehutanan sebelumnya menyebutkan angka 135 juta hektar) sebanyak 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar telah dijarah total sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi. Artinya, 26 juta hektar hutan di Indonesia telah musnah. Selain itu, 25 persen lainnya atau setara dengan 48 juta hektar juga mengalami deforestasi dan dalam kondisi rusak akibat bekas area HPH (Hak Penguasaan Hutan). Dari total luas hutan di Indonesia hanya sekitar 23 persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas dari deforestasi (kerusakan hutan) sehingga masih terjaga dan berupa hutan primer. Laju deforestasi hutan di Indonesia paling besar disumbang oleh kegiatan industri, terutama industri kayu, yang telah menyalahgunakan HPH yang diberikan sehingga mengarah pada pembalakan liar. Penebangan hutan di Indonesia mencapai 40 juta meter kubik per tahun, sedangkan laju penebangan yang sustainable (lestari berkelanjutan) sebagaimana direkomendasikan oleh Departemen Kehutanan menurut World Bank adalah 22 juta meter kubik meter per tahun. Penyebab deforestasi terbesar kedua di Indonesia, disumbang oleh pengalihan fungsi hutan (konversi hutan) menjadi perkebunan. Konversi hutan menjadi area perkebunan (seperti kelapa sawit), telah merusak lebih dari 7 juta ha hutan sampai akhir 1997. Deforestasi (kerusakan hutan) memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat dan lingkungan alam di Indonesia. Kegiatan penebangan yang mengesampingkan konversi hutan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan yang pada akhirnya meningkatkan peristiwa bencana alam, seperti tanah longsor dan banjir.
Dampak buruk lain akibat kerusakan hutan adalah terancamnya kelestarian satwa dan flora di Indonesia utamanya flora dan fauna endemik. Satwa-satwa endemik yang semakin terancam kepunahan akibat deforestasi hutan misalnya lutung jawa (Trachypithecus auratus), dan merak (Pavo muticus), owa jawa (Hylobates moloch), macan tutul (Panthera pardus), elang jawa (Spizaetus bartelsi), merpati hutan perak (Columba argentina), dan gajah sumatera (Elephant maximus sumatranus). 
2.5  Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan yang memiliki dampak negatif.  Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Selain itu, kebakaran hutan dapat didefinisikan sebagai pembakaran yang tidak tertahan dan menyebar secara bebas dan mengonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan,antara lain terdiri dari serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, dan lain-lain. Istilah Kebakaran hutan di dalam Ensiklopedia Kehutanan Indonesia disebut juga Api Hutan. Selanjutnya dijelaskan bahwa Kebakaran Hutan atau Api Hutan adalah Api Liar yang terjadi di dalam hutan, yang membakar sebagian atau seluruh komponen hutan. Dikenal ada 3 macam kebakaran hutan, Jenis-jenis kebakaran hutan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Api Permukaan atau Kebakaran Permukaan yaitu kebakaran yang terjadi pada lantai hutan dan membakar seresah, kayu-kayu kering dan tanaman bawah. Sifat api permukaan cepat merambat, nyalanya besar dan panas, namun cepat padam. Dalam kenyataannya semua tipe kebakaran berasal dari api permukaan.
  2. Api Tajuk atau Kebakaran Tajuk yaitu kebakaran yang membakar seluruh tajuk tanaman pokok terutama pada jenis-jenis hutan yang daunnya mudah terbakar. Apabila tajuk hutan cukup rapat, maka api yang terjadi cepat merambat dari satu tajuk ke tajuk yang lain. Hal ini tidak terjadi apabila tajuk-tajuk pohon penyusun tidak saling bersentuhan.
  3. Api Tanah adalah api yang membakar lapisan organik yang dibawah lantai hutan. Oleh karena sedikit udara dan bahan organik ini, kebakaran yang terjadi tidak ditandai dengan adanya nyala api. Penyebaran api juga sangat lambat, bahan api tertahan dalam waktu yang lama pada suatu tempat.

2.6  Kebakaran dan Pembakaran
Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik dengan kejadian yang tidak disengaja sedangkan pembakaran identik dengan kejadian yang sengaja diinginkan tetapi tindakan pembakaran dapat juga menimbulkan terjadinya suatu kebakaran. Penggunaan istilah kebakaran hutan dengan pembakaran terkendali merupakan suatu istilah yang berbeda. Penggunaan istilah ini sering kali mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah terhadap dampak yang ditimbulkannya.
Kebakaran-kebakaran yang sering terjadi digeneralisasi sebagai kebakaran hutan, padahal sebagian besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah pembakaran yang sengaja dilakukan maupun akibat kelalaian, baik oleh peladang berpindah ataupun oleh pelaku binis kehutanan atau perkebunan, sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam (petir, larva gunung berapi). Saharjo (1999) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan alam dan perladangan berpindah dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, entah itu sengaja dibakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat penyiapan lahan. Bahan bakar dan api merupakan faktor penting untuk mempersiapkan lahan pertanian dan perkebunan (Saharjo, 1999). Pembakaran selain dianggap mudah dan murah juga menghasilkan bahan mineral yang siap diserap oleh tumbuhan. Banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar di atas lahan akhirnya akan menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang luas. Untuk itu, agar dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka penggunaan api dan bahan bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hati-hati. Untuk menyelesaikan masalah ini maka manajemen penanggulangan bahaya kebakaran harus berdasarkan hasil penelitian dan tidak lagi hanya mengandalkan dari terjemahan textbook atau pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan dengan keadaan lahan di Indonesia (Saharjo, 2000).

2.7  Penyebab Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor,sebagai berikut:
1.    Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang.
2.    Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok sembarangan dan lupa mematikan api di perkemahan.
3.    Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi.
4.    Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka lahan pertanian baru dan tindakan vandalisme.
5.    Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.
6.    Kemarau yang panjang, dan panas yang terik tanpa adanya hujan berkepanjangan,


2.8  Kerugian yang ditimbulkannya
Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran hutantersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagikegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).
Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milayar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi.
Kerugian ekonomi akibat kabut asap mencapai sekitar Rp 20 triliun dalam dua bulan, sedangkan Singapura mengklaim kerugian sekitar Rp 16 triliun.Riset CIFOR mencatat bahwa terjadi kenaikan harga lahan sekitar Rp 3 juta setelah pembakaran lahan. Sebelum terbakar, harga lahan berkisar Rp 8 juta, dan setelah terbakar menjadi Rp 11 juta per hektar. Setelah ditanami sawit, harganya berlipat lagi, sekitar Rp 50 juta, dan bisa mencapai Rp 100 juta per hektar apabila ditanami sawit bibit unggul. Karenanya, kata Herry, di luar masyarakat yang menderita kerugian akibat kabut asap, sekelompok orang justru menikmati hasil dari kebakaran hutan. Mereka adalah orang pengejar keuntungan ekonomi dari pembakaran seperti kelompok tani, pengklaim lahan, perantara penjual lahan, dan investor sawit. “Pihak yang paling mengetahui informasi pembakaran hutan adalah pemerintah kabupaten, kecamatan, desa, dan LSM lokal. Pemerintah desalah yang mengeluarkan surat keterangan tanah untuk kebun sawit baru,” kata Herry.
Saat ini kelapa sawit menjadi "emas hijau" yang banyak diincar investor, dari mulai perusahaan raksasa hingga investor perorangan karena merupakan investasi paling menguntungkan. Karenanya, pembakaran hutan, menurut riset CIFOR, merupakan cara menghasilkan uang dengan mudah. Solusinya, menurut CIFOR, adalah memutus jaringan para pemburu keuntungan ekonomi dari pembakaran hutan, dari petani ke investor, menyusun tata ruang dan lahan, serta penegakan supremasi hukum.
Selain itu pemerintah seharusnya memberikan alokasi dana yang lebih besar untuk pencegahan kebakaran jangka panjang, bukan pada pemadaman api. “Rekayasa hujan buatan itu proyek mahal tetapi tidak menyelesaikan masalah,” kata Herry. Berdasarkan pantauan Rappler di Riau dan Jambi beberapa waktu lalu, industri kelapa sawit masih merupakan primadona ekonomi. Tak hanya perusahaan besar yang memiliki jutaan hektar kebun, masyarakat kecil juga ikut bermain dalam bisnis ini dari mulai puluhan hingga ratusan hektar.

2.9  Dampak Kebakaran Hutan
2.9.1     Dampak Kebakaran Hutan terhadap Lingkungan Biologis
Yang dimaksud dengan lingkungan biologi yaitu segala sesuatu di sekitar manusia yang berupa organisme hidup selain dari manusia itu sendiri seperti hewan, tumbuhan, dan decomposer.
Dampak yang ditimbulkan dari adanya kebakaran hutan khususnya terhadap lingkungan biologis antara lain sebagai berikut:
  1. Terhadap flora dan fauna
Kebakaran hutan akan memusnahkan sebagian spesies dan merusak kesimbangan alam sehingga spesies-spesies yang berpotensi menjadi hama tidak terkontrol. Selain itu, terbakarnya hutan akan membuat Hilangnya sejumlah spesies; selain membakar aneka flora, kebakaran hutan juga mengancam kelangsungan hidup sejumlah binatang. Berbagai spesies endemik (tumbuhan maupun hewan) terancam punah akibat kebakaran hutan. Selain itu, kebakaran hutan dapat mengakibatkan terbunuhnya satwa liar dan musnahnya tanaman baik karena kebakaran, terjebak asap atau rusaknya habitat. Kebakaran juga dapat menyebabkan banyak spesies endemik/khas di suatu daerah turut punah sebelum sempat dikenali/diteliti.
Beberapa dampak kebakaran tehadap hewan dan tumbuhan antara lain sebagai berikut:
Kebakaran hutan akan mengakibatkan banyak binatang yang akan kehilangan   tempat tinggal yang digunakan untuk berlindung serta tempat untuk mencarimakan. Dengan demikian, hewan yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan baru setelah terjadinya kebakaran tersebut akan mengalami penurunan jumlah bahkan dapat mengalami kepunahan.
Contoh dampak kebakaran hutan bagi beberapa hewan antara lain sebagai berikut:
  • Geobin : seluruh daur hidupnya di dalam tubuh tanah (Ciliophora, Rhizopoda & Mastigophora, dll)
  • Geofil : sebagian daur hidupnya di dalam tubuh tanah (serangga)
Kehidupan tumbuhan berhubungan erat dengan hutan yang merupakan tempat hidupnya. Kebakaran hutan dapat mengakibatkan berkurangnya vegetasi tertentu.
Contoh dampak kebakaran hutan terhadap tumbuhan adalah sebagai berikut:
  • Tumbuhan tingkat tinggi (akar pohon, semak atau rumput)
  • Tumbuhan tingkat rendah (bakteri, cendawan dan Ganggang)
2.9.2   Menteri Kesehatan RI, 2003 menyatakan bahwa kebakaran hutan  menimbulkan polutan udara yang dapat menyebabkan penyakit dan membahayakan kesehatan manusia. Berbagai pencemar udara yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan, misalnya : debu dengan ukuran partikel kecil (PM10 & PM2,5), gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain. Selain itu juga dapat menimbulkan gangguan jarak pandang/ penglihatan, sehingga dapat menganggu semua bentuk kegiatan di luar rumah. Gumpalan asap yang pedas akibat kebakaran yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998 meliputi wilayah Sumatra dan Kalimantan, juga Singapura dan sebagian dari Malaysia dan Thailand. Sekitar 75 juta orang terkena gangguan kesehatan yang disebabkan oleh asap. (Cifor,2001).
Gambut yang terbakar di Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfir daripada yang dilepaskan Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal itu membuat Indonesia menjadi salah satu pencemar lingkungan terburuk di dunia pada periode tersebut (Applegate, G. dalam CIFOR, 2001).
Dampak kebakaran hutan 1997/98 bagi ekosistem direvisi karena perubahan perhitungan luas kebakaran yang ditemukan. Taconi, 2003 menyebutkan bahwa kebakaran yang mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar 1,62-2,7 miliar dolar. Biaya akibat pencemaran kabut asap sekitar 674-799 juta dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon menunjukkan bahwa kemungkinan biayanyamencapai2,8 miliar dolar.


2.10    Pencegahan Kebakaran Hutan di Indonesia
Upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan yang bersifat represif dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan kebakaran hutan yang bersifat represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain.
Sementara itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Jadi penanganan yang bersifat preventif ini ada dan dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi. Selama ini, penanganan yang dilakukan pemerintah dalam kasus kebakaran hutan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, lebih banyak didominasi oleh penanganan yang sifatnya represif. Berdasarkan data yang ada, penanganan yang sifatnya represif ini tidak efektif dalam mengatasi kebakaran hutan di Indonesia.
Hal ini terbukti dari pembakaran hutan yang terjadi secara terus menerus. Sebagai contoh : pada bulan Juli 1997 terjadi kasus kebakaran hutan. Upaya pemadaman sudah dijalankan, namun karena banyaknya kendala, penanganan menjadi lambat dan efek yang muncul (seperti : kabut asap) sudah sampai ke Singapura dan Malaysia. Sejumlah pihak didakwa sebagai pelaku telah diproses, meskipun hukuman yang dijatuhkan tidak membuat mereka jera. Ketidakefektifan penanganan ini juga terlihat dari masih terus terjadinya kebakaran di hutan Indonesia, bahkan pada tahun 2008 ini.
Oleh karena itu, berbagai ketidakefektifan perlu dikaji ulang sehingga bisa menghasilkan upaya pengendalian kebakaran hutan yang efektif.
Menurut UU No 45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara terpadu dari tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada kesamaan bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu penanggungjawab di setiap tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsi-fungsi berikut ini :
  1. Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-masing. Fungsi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim digunakan adalah 3 cara berikut:
  • pemetaan daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu
    maupun hasil prediksi.
  • pemetaan daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa (Partisipatory Rural Appraisal)
  • pemetaan daerah rawan dengan menggunakan Global Positioning System atau citra satelit
2. Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.
Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di setiap tingkat. Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :
·         analisis kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah
·         pengolahan data hasil pengintaian petugas
  1. Sosialisasi : pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat.
Penyuluhan dimaksudkan agar menginformasikan kepada masyarakat di setiap wilayah mengenai bahaya dan dampak, serta peran aktivitas manusia yang
seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa menginformasikan kepada masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan terhadap kebakaran dan upaya pencegahannya.
Pembinaan  merupakan kegiatan yang mengajak masyarakat untuk dapat meminimalkan intensitas terjadinya kebakaran hutan. Sementara, pelatihan bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar wilayah rawan kebakaran hutan,untuk melakukan tindakan awal dalam merespon kebakaran hutan.
  1. Standardisasi : pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating Procedure).
    Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran hutan maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar yang baku dalam berbagai hal berikut :
  • Metode pelaporan
Untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk, khususnya data yang berkaitan dengan kebakaran hutan, harus diterapkan sistem pelaporan yang sederhana dan mudah dimengerti masyarakat. Ketika data yang masuk sudah lancar, diperlukan analisis yang tepat sehingga bisa dijadikan sebuah dasar untuk kebijakan yang tepat.
  • Peralatan
Standar minimal peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa diterapkan oleh pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali sehubungan dengan potensi terjadinya kebakaran hutan, fasilitas pendukung, dan sumber daya manusia yang tersedia di daerah.
  • Metode Pelatihan untuk Penanganan Kebakaran Hutan
Standardisasi ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan kebakaran yang efisien dan efektif dalam mencegah maupun menangani kebakaran hutan yang terjadi. Adanya standardisasi ini akan memudahkan petugas penanganan kebakaran untuk segera mengambil inisiatif yang tepat dan jelas ketika terjadi kasus kebakaran hutan
  1. Supervisi : pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan hutan. Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya perusakan lingkungan, sedangkan pengawasan adalah tindak lanjut dari hasil analisis pemantauan. Jadi, pemantauan berkaitan langsung dengan penyediaan data,kemudian pengawasan merupakan respon dari hasil olah data tersebut. Pemantauan, menurut kementerian lingkungan hidup, dibagi menjadi empat, yaitu :
  • Pemantauan terbuka : Pemantauan dengan cara mengamati langsung objek yang diamati. Contoh : patroli hutan
  • Pemantauan tertutup (intelejen) : Pemantauan yang dilakukan dengan cara penyelidikan yang hanya diketahui oleh aparat tertentu.
  • Pemantauan pasif : Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan, dan keterangan dari data-data sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup.
  • Pemantauan aktif : Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan menghimpun data di lapangan secara primer. Contohnya : melakukan survei ke daerah-daerah rawan kebakaran hutan. Sedangkan, pengawasan dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu :
·         Preventif : kegiatan pengawasan untuk pencegahan sebelum terjadinya perusakan lingkungan (pembakaran hutan). Contohnya : pengawasan untuk menentukan status ketika akan terjadi kebakaran hutan
·         Represif : kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk menanggulangi perusakan yang sedang terjadi atau telah terjadi serta akibat-akibatnya sesudah terjadinya kerusakan lingkungan.
Untuk mendukung keberhasilan, upaya pencegahan yang sudah dikemukakan diatas, diperlukan berbagai pengembangan fasilitas pendukung yang meliputi :
  1. Pengembangan dan sosialisasi hasil pemetaan kawasan rawan kebakaran hutan
    Hasil pemetaan sebisa mungkin dibuat sampai sedetail mungkin dan disebarkan pada berbagai instansi terkait sehingga bisa digunakan sebagai pedoman kegiatan institusi yang berkepentingan di setiap unit kawasan atau daerah.
  2. Pengembangan organisasi penyelenggara Pencegahan Kebakaran Hutan
    Pencegahan Kebakaran Hutan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor, tingkatan dan daerah. Peran serta masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan upaya pencegahan ini. Sementara itu, aparatur pemerintah, militer dan kepolisian, serta kalangan swasta perlu menyediakan fasilitas yang memadai untuk memungkinkan terselenggaranya Pencegahan Kebakaran Hutan secara efisien dan efektif.
  3. Pengembangan sistem komunikasi
Sistem komunikasi perlu dikembangkan seoptimal mungkin sehingga koordinasi antar tingkatan (daerah sampai pusat) maupun antar daerah bisa berjalan cepat. Hal ini akan mendukung kelancaran early warning system, transfer data, dan sosialisasi kebijakan yangberkaitan dengan kebakaran hutan

2.11    Penanggulan Kebakaran Hutan di Indonesia
Penanggulangan hutan di Indonesia telah di atur dengan jelas di dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-Ii/2009 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Adapun upaya penanggulangan yang dimaktub tersebut antara lain:
  1. Memberdayakan sejumlah posko yang bertugas menanggulangi kebakaran hutan di semua tingkatan. Pemberdayaan ini juga harus disertai dengan langkah pembinaan terkait tindakan apa saja yang harus dilakukan jika kawasan hutan telah memasuki status Siaga I dan juga Siaga II.
  2. Memindahkan segala macam sumber daya baik itu manusia, perlengkapan serta dana pada semua tingkatan mulai dari jajaran Kementrian Kehutanan hingga instansi lain bahkan juga pihak swasta.
  3. Memantapkan koordinasi antara sesame instansi yang saling terkait melalui dengan PUSDALKARHUTNAS dan juga di lever daerah dengan PUSDALKARHUTDA tingkat I dan SATLAK kebakaran lahan dan juga hutan.
  4. Bekerjasama dengan pihak luar seperti Negara lainnya dalam hal menanggulangi kebakaran hutan. Negara yang potensial adalah Negara yang berbatasan dengan kita misalnya dengan Malaysia berama pasukan BOMBA-nya. Atau juga dengan Australia bahkan Amerika Serikat.
Upaya penanggulangan kebakaran hutan ini tentunya harus sinkron dengan upaya pencegahan. Sebab walau bagaimanapun, pencegahan jauh lebih baik dari memanggulangi. Ada beragam cara yang bisa dilakukan dalam rangka mencegah kebakaran hutan khususnya yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti membuang punting rokok di wilayah yang kering, kegiatan pembukaan lahan dan juga api unggun yang lupa dimatikan. Upaya pencegahannya adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya mereka yang berhubungan langsung dengan hutan. Masyarakat ini biasanya tinggal di wilayah hutan dan memperluas area pertaniannya dengan membakar. Pemerintah harus serius mengadakan sosialisi agar hal ini bisa dicegah. Pada dasarnya upaya penanggulangan kebakaran hutan juga bisa disempurnakan jika pemerintah mau memanfaatkan teknologi semacam bom air. Atau bisa juga lebih lanjut ditemukan metode yang lebih efisien dan ampuh menaklukkan kobaran api di hutan. Langkah yang paling baik adalah dengan mengikutsertakan para perangkat pendidikan agar merancang teknologi maupun metode yang membantu pemerintah di level praktis. Sokongan dana dari pemerintah akan membuat program tersebut lebih baik dan terarah.


2.12    Beberapa Kasus Kebakaran Hutan yang Terjadi Indonesia
2.12.1    Kebakaran Hutan di Riau
127 titik api mucul, Riau makin membara. Kebakaran hutan di Riau semakin meluas. Hari ini sebanyak 127 titik panas (hotspot) mengepung berbagai wilayah di Bumi Lancang Kuning tersebut. Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Pekanbaru Slamet Riyadi menyebutkan hotspot terbanyak di Kabupaten Pelalawan dengan jumlah 53 titik. Jumlah hotspot mengalami peningkatan drastis dibanding. "Kemudian di Kabupaten Inhu ada 49 titik, Kampar 15 titik, Inhil tujuh titik dan Kuansing tiga titik," kata Slamet, Sabtu (19/9/2015).
Akibat dari kebakaran hutan dan lahan yang berdampak ini hampir semua wilayah di Riau tertutup asap. "Visibiliti (jarak pandang) diberbagai daerah daerah di Riau umumnya hanya 500 sampai 1000 meter. Ini disebabkan karena kabut asap," sebutnya.Sementara itu wilayah Sumatera, total titik panas di berjumlah 497 titik. Dengan daerah terbanyak Provinsi Jambi dengan 169 titik, kemudian Provinsi Sumatera Selatan 159 titik dan Riau di posisi ketiga penyumbang kebakaran. Sisanya diberbagai propinsi lain di Sumatera. "Hujan diprediksi pada awal Oktober. Kita berharap semua pihak tetap waspada karena saat ini lahan masih mudah terbakar," himbaunya.
Kebakaran di Riau sudah berlangsung lebih dari sebulan. Bencana ini sudah melumpuhkan perenomian warga, dunia penerbangan, pendidikan dan sudah puluhan ribu warga terserang penyakit ISPA.

2.12.2    Kebakaran Hutan di Kediri
Kebakaran hutan yang terjadi dikawasan di Petak 128 Resor Pemangku Hutan (RPH) Pojok, Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Kediri di area gunung Klothok, Minggu (2/9/2012) siang tadi, diduga akibat ulah manusia. Asisten Perhutani BKPH Kediri, Suharto menduga, kebakaran hutan di kawsan gunung Klotok ini akibat wisatawan atau pembukaan lahan secara ilegal yang dilakukan oknum masyarakat.
“Penyebabnya karena ulah manusia. Mungkin karena puntung rokok wisatawan atau upaya pembukaan ladang liar,” ujarnya saat ditemui di lokasi kebakaran.
Akibat kejadian tersebut, 7 hektar hutan yang terdiri dari berbagai tanaman produksi menjadi rusak. Menurut laporan yang diterimanya, saat ini api telah membakar seluas 7 hektar hutan yang berisi sisa tanaman yang ditanam pada periodesasi tahun 1980. Namun demikian belum diketahui jumlah kerugian materiil yang diakibatkan oleh kebakaran itu. Saat ini, petugas Perhutani yang dibantu personel TNI dari Brigif 16 Wirayuda dan warga sudah mulai menjinakkan si jago merah. Mereka memadamkannya dengan cara membagi personel sesuai jumlah titik api dan kemudian melokalisir sumber api. Meskipun dengan perlengkapan seadanya, mereka berhasil memadamkan 4 titik api yang ada. “Kita tadi kerahkan 60 personel untuk membantu pemadaman ini,” kata Lettu Infanteri Ismiyanto, Pasi Propam Ops Brigif 16 Wirayuda Kediri.
Kini sebagian personel telah turun gunung, sementara sebagian lainnya terutama dari elemen Perhutani masih bersiaga di sekitar lokasi kejadian untuk mengantisipasi kebakaran susulan.Sebelumnya diberitakan, titik api kali pertama terlihat pada pukul 11.45 di bagian wilayah Dusun Ngesong Sumber Bentis, Desa Manyaran, Kecamatan Banyakan, Kabupaten Kediri. Kencangnya angin ditambah medan yang penuh dengan tanaman kering sehingga api dengan mudah merembet hingga masuk wilayah Sukorame, Kota Kediri.

2.12.4    Kebakaran Hutan di Pontianak
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Supadio Pontianak menjelaskan, bahwa titik api di wilayah Kalimantan Barat mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari hari sebelumnya. "Hal ini berdasarkan pantauan Satelit Modis dan Noa-18," kata Prakirawan BMKG Supadio Pontianak Dina, kepada wartawan, Selasa (22/9/2015). Ditambahkan dia, menurut antauan Satelit Modis tercatat 310 titik api yang tersebar di beberapa kabupaten, yaitu dua titik api terdapat di Kabupaten Kapuas Hulu, 26 di Kabupaten Kayong Utara, dan 172 di Kabupaten Ketapang. “49 titik api terdapat di Kabupaten Kubu raya, enam terdapat di Kabupaten Mempawah, Kabupaten Sintang terdapat 52 titik api dan satu titik api masing-masing terdapat di Kabupaten Melawi," ungkapnya. Dilanjutkan dia, di Kabupaten Sanggau dan Sekadau, sementara itu berdasarkan pantauan satelit Noaa-18 tercatat 167 titik api yang tersebar di Kabupaten Kayong Utara terdapat 16 titik api, dan Ketapang 81 titik api.
"23 titik api terdapat di Kubu raya, tujuh di Kabupaten Melawi, dua titik api terdapat di Sanggau, delapan titik api di Sekadau, Kabupaten Sintang terdapat 28 titik api, dan Kabupaten Kapuas Hulu," terangnya. "Sementara di Kabupaten Mempawah masing-masing terdapat satu titik api," ungkapnya. Pihak BMKG saat ini juga telah membuat sebaran titik api di beberapa kabupaten di wilayah kalimantan Barat hari ini naik delapan kali lipat dari sebelumnya yang hanya 40 titik api. "Kabupaten Ketapang memiliki titik api terbanyak di bandingkan dari kabupaten lainnya. Meningkatnya jumlah titik api hari ini, disebabkan oleh pembakaran hutan dan lahan yang kembali terjadi," jelasnya. Dilanjutkan dia, walaupun sebelumnya sudah jauh berkurang, hanya 40 titik api saja. "Namun hari ini kembali meningkat dengan cukup signifikan," jelasnya.
2.12.5    Kebakaran Hutan di Makasar
Kebakaran lahan di Luwu Timur, Sulawesi Selatan semakin meluas ke area kantor pemerintahan, serta pemukiman warga yang ada di daerah tersebut. Pihak pemadam kebarakan Luwu Timur yang menurunkan tiga unit armadanya kewalahan memadamkan kobaran api yang semakin membesar. Kebakaran tersebut terjadi di dua lokasi yang berbeda yakni di desa Wewangriu serta Desa Pucak Indah Malili, Kecamatan Malili Luwu Timur. Kebakaran lahan ini sudah menghanguskan puluhan hektar area perkebunan kakao serta hutan lindung yang ada di daerah tersebut selama beberapa minggu terakhir. Selain itu kebakaran juga menimbulkan kabut asap menyelimuti wilayah tersebut. Menurut Komandan Damkar Luwu Timur Erik, pihaknya kewalahan memadamkan kobaran api yang terus merembet ke area perkantoran serta permukiman warga. "Karena terjadi angin kencang serta lahan yang dilahap api merupakan lahan gambut yang sudah mengering akibat musim kemarau sehingga api sulit dipadamkan," pungkasnya.

2.12.6    Kebakaran Hutan di Pekanbaru
Kebakaran hutan dan lahan di Pulau Sumatera, termasuk Provinsi Riau, masih terus terjadi. Bahkan cenderung meningkat. Berdasarkan pantauan Satelit Terra dan Aqua, tercatat hari ini ada 1.025 hotspot (titik panas). Kebakaran terparah kali ini disumbangkan oleh Provinsi Sumatera Selatan dengan 791 titik. Provinsi penyumbang kebakaran kedua Bangka Belitung dengan 123 titik api, Jambi 60 titik, Lampung 36 titik, Bengkulu lima titik dan Riau satu titik. "Sementara untuk Provinsi Riau ada sembilan hospot," kata Staf Analisa Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru Slamet Riyadi.
Berdasarkan pantauan satelit, sebaran titik api Riau berada di tiga kabupaten. Daerah kebakaran tersebut adalah Kabupaten Pelalawan, Rokan Hilir (Rohil), dan Indragiri Hilir (Inhil). "Masing-masing daerah menyumbang tiga hotspot," pungkasnya. Sementara itu, sudah dua hari ini Provinsi Riau diguyur hujan. Kondisi ini membuat Riau sendikit membaik. Di mana sebelumnya kabut tebal menyelimuti Riau, kini mulai terlihat tipis. Begitu juga dengan kondisi Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang sebelumnya berada dilevel berbahaya, kini sedikit membaik, yakni di level tidak sehat.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Akibat kebakaran hutan tidak hanya mengakibatkan kerugian ekonomis dan kerusakan ekosistem. Kita juga dicap sebagai bangsa dan masyarakat yang tidak bisa dan tidak mau memelihara kekayaan alam. Padahal kawasan hutan di Indonesia luasnya mencapai 10 persen dari hutan tropis yang ada di dunia atau ke tiga terbesar setelah Zaire dan Brasil. Bukan hanya itu. Asap tebal yang mengganggu ruang udara tetangga membuat sejumlah negara mencap kita sebagai bukan tetangga yang baik. Tidak hanya faktor kesehatan dan kegiatan masyarakat yang terganggu, tetapi lebih jauh menyangkut terganggunya navigasi penerbangan dan pelayaran. Awal tahun ini, disaat kita masih sibuk dengan berbagai upaya pemulihan yang direcoki dengan berbagai persoalan residu orde baru, bukannya tidak mungkin musibah itu berulang. Kebakaran hutan seperti pada tahun 1997 terjadi lagi dalam keadaan kita serba tergagap-gagap mengahadapi kebusukan masa lalu yang satu persatu terbuka. Indonesia bukan hanya dicap buruk sebagai tempat yang subur untuk pelanggaran HAM, KKN dan perampasan serakah terhadap kekayaan alam beserta isinya, melainkan juga negara dengan warga dan pemerintah yang tidak tahu berterimakasih, sehingga tidak layak dijadikan teman. Kepercayaan rasanya semakin jadi barang mewah dan mahal. Terus menerus kita membangun kepercayaan. Kepercayaan sekarang menjadi kata kunci. Dengan kepercayaan terbuka kemungkinan-kemungkinan rasa simpatik dan bantuan-bantuan finansial lain yang kita butuhkan.


3.2 Saran
            3 langkah saran Greenpeace untuk mencegah kebakaran hutan:
Pertama, mempertahankan pengelolaan hutan dan gambut ke lahan kelapa sawit, akasia dan tumbuhan komoditas industri lainnya.
Kedua, memastikan sesegera mungkin mengesahkan rancangan tata kelola gambut yang kuat dan memberikan perlindungan penuh kepada kawasan gambut termasuk memberikan batasan jelas dalam batasan konsesi lahan yang dilindungi dengan perusahaan.
Ketiga, mengembangkan dan menerapkan rencana pemerintah soal perlindungan, rehabilitasi da manajemen berkelanjutan tentang hutan dan rawa gambut termasuk mengikut sertakan dan berbasis komunitas masyarakat local.

DAFTAR PUSTAKA

5.   Google search hutan